"Mawadah bukanlah berarti cinta yang sederhana, yang begitu mudahnya
menyaru dengan nafsu dan ego manusia".
Mawadah, menurut Prof. Dr. Quraish Shihab adalah
suatu cinta yang begitu mendalam dan penuh keikhlasan. mawadah adalah
cinta yang penuh kemaafan. dengan mawadah, seseorang bisa merelakan masa
lalu dirinya dan pasangannya sehingga tidak ada perselisihan yang
mengungkit-ungkit masalah yang sudah lewat. mawadah membuat seseorang
memaafkan kesalahan pasangannya dan siap untuk membangun kembali
kepercayaan bersama-sama.
Mawaddah adalah cinta yang unlimit atau tidak terbatas sampai kapanpun. Inilah kecintaan yang dimiliki oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Cintanya seorang ibu akan hidup sampai kapanpun tidak terbatas tempat, waktu, dan usia anak.
Begitu juga cintanya sepasang suami istri yang sudah hidup
berpuluh-puluh tahun namun masih tetap cinta, masih tetap sayang, masih
tetap akan merasa bahagia jika bersama, ada kerinduan yang besar ketika
tidak bertemu walaupun usia sudah tua tapi rasa cinta seperti itu masih
ada, walaupun dari fisik pasangannya mungkin sudah tidak enak dilihat
lagi .
Pernah melihat? kakek nenek yang datang kepengajian, mereka sambil
berpegangan tangan dan terlihat sangat bahagia padahal usia mereka sudah
sangat tua dan mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya tapi
seakan-akan mereka baru menikah kemarin-kemarin. Itulah cinta yang tidak
ada batasnya.
Menarik kisah pada genarasi sahabat, kisah ini terjadi pada saat
pemerintahan ‘Umar Amirul mukminin r.a. ada seorang arab badui yang akan
mengadukan istrinya kepada ‘Umar karena istrinya telah mengeluarkan
suara keras melebihi suaranya.
Iapun kemudian pergi ke rumah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khatab r.a.
dan ketika dia sampai di depan pintu rumah Amirul Mukminin dia mendengar
langkah kaki ‘Umar yang hendak keluar dari rumahnya. Dia mendengar
istri Amirul Mukminin berkata kepadanya dengan suara yang keras
mengatakan: “bertaqwalah kepada Allah, wahai ‘Umar atas apa yang engkau
pimpin!”
‘Umar hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun, orang badui tersebut
berbicara dalam hatinya seraya berpaling pergi: “Jika keadaan Amirul
Mukminin saja seperti ini, maka bagaimana dengan diriku?” Ketika ia
hendak berpaling pergi, ternyata ‘Umar bin khatab telah keluar dan
melihatnya. ‘Umar bertanya apa keperluanmu?, wahai saudaraku orang
Arab?”
Orang arab badui itupun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin sebenarnya
aku ingin menemuimu untuk mengadukan sikap istriku. Dia telah berani
bersuara keras terhadap diriku. Namun seketika aku melihat keadaan
rumahmu, aku menjadi merasa kerdil, karena apa yang engkau hadapi lebih
sulit daripada apa yang aku hadapi. Oleh karena itu, aku hendak pulang
dan berkata pada diriku sendiri: “Jika Amirul Mukminin saja mendapat
perlakuan seperti itu dari istrinya, maka bagaimana dengan diriku?”
‘Umar pun terseyum dan berkata: “Wahai saudaraku semuslim, aku
menahan diri dari sikapnya (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak
atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa
saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya. Akan tetapi, aku
sadar bahwa tidak ada yang dapat memuliakan wanita selain orang yang
mulia dan tidak ada orang yang merendahkan selain orang yang suka
menyakiti. Mereka dapat mengalahkan setiap orang yang mulia namun mereka
dapat dikalahkan oleh setiap orang yang suka menyakiti. Akan tetapi,
aku angat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku),
dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku
termasuk orang yang menang.”
‘Umar melanjutkan : “Wahai saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan
diri karena dia istriku memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang
memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, menyusui anak-anakku,
dan mencuci baju-bajuku. Sebesar apa kesabaranku terhadap sikapnya, maka
sebanyak itulah pahala yang aku terima.”
Saya membaca kisah yang penuh makna ini berkali-kalipun sangat terasa indah dan sejuk (halah..), bagaimana tidak?
Saya tidak tepikirkan, bagaimana perhatian negara Islam yang begitu
besar untuk mengurusi umatnya termasuk masalah rumah tangga, luar biasa.
Disisi lain, sikap seorang pemimpin besar semisal ‘Umar yang kalau kita
ketahui sifat ‘Umar adalah keras dan kasar, tapi bisa menahan diri dari
bersikap kasar dan lebih memilih bersikap lembut kepada istrinya yang
beliau cintai. Itulah cinta mawaddah ‘Umar kepada istrinya.
Semoga kecintaan kita selalu dilandasi keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.[]
Wallahua’lam bi ash shawab
Wallahua’lam bi ash shawab